dawainusa.com – Pada 18 Maret lalu, pemerintah Malaysia memberlakukan karantina wilayah alias lockdown selama dua pekan. Seluruh bisnis ditutup, kecuali toko yang menjual makanan dan kebtuhan sehari-hari.
Membendung lonjakan infeksi virus corona baru menjadi alasan utama opsi tersebut diambil. Sebetulnya, Malaysia merupakan negara terbaru yang memberlakukan lockdown. Sebelumnya, Filipina dan Italia telah terlebih dulu memberlakukan kebijakan tersebut.
Baca juga: Mengapa Tingkat Kematian Pasien Corona di Indonesia Tinggi?
Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin dalam pidato langsung pada Senin (16/3/2020) malam mengatakan, pemerintah Malaysia memandang situasi tersebut dengan serius, terutama dengan perkembangan gelombang kedua (infeksi).
“Kami tidak bisa menunggu lebih lama untuk hal-hal menjadi lebih buruk. Tindakan drastis harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit dengan membatasi pergerakan publik,” ungkapnya seperti dilansir oleh South China Morning Post.
Menurut Muhyiddin, lockdown adalah satu-satunya cara agar dapat mencegah lebih banyak orang terinfeksi wabah corona. Pemerintah Malaysia pun memberlakukan pembatasan masuk bagi wisatawan asing.
Warga negara asing yang terlanjur berada di Malaysia tetap diizinkan untuk meninggalkan negeri tersebut. Perwakilan negara asing seperti duta besar dan diplomat dapat kembali ke negara masing-masing.
Lockdown juga berlaku bagi lembaga pendidikan dengan menutup seluruh taman kanak-kanan, sekolah dasar dan menengah, sekolah swasta, pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta, serta lembaga pelatihan keterampilan nasional.
Kantor pemerintah dan swasta juga ditutup, kecuali yang terlibat dalam layanan publik penting seperti air, listrik, energi, telekomunikasi, transportasi, penyiaran, keuangan, keamanan, dan kesehatan.
Lockdown Indonesia dan Krisis Ekonomi
Opsi lockdown yang diambil pemerintah Malaysia berbeda dengan Indonesia. Menurut Presiden RI Joko Widodo, opsi lockdown dalam rangka penanganan virus corona belum diterapkan di Indonesia.
Saat ini, pemerintah pusat, lebih mengedepankan cara menjaga jarak dan mengurangi kerumunan massa. Sebab, kerumunan massa bisa membawa risiko lebih besar dalam penyebaran COVID-19.
Baca juga: Jumlah Bertambah, Berikut Update Terkini Corona 21 Maret 2020
Meski tidak memberlakukan karantina wilayah, pemerintah Indonesia melakukan perpanjangan penetapan status bencana COVID-19 menjadi 91 hari, terhitung sejak 29 Februari 2020 sampai 29 Mei 2020 mendatang.
Lantas, apa yang akan terjadi jika seandainya Indonesia memberlakukan lockdown?
Dalam sebuah paparan yang berjudul “Tepatkah Lockdown dalam Menghadapi COVID-19”, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri memberikan beberapa analisis jika Indonesia menerapkan karantina wilayah dalam menekan penyebaran covid-19.
Menurutnya, opsi lockdown akan membawa dampak ekonomi yang cukup besar kepada Indonesia. Sebab, kebijakan lockdown disertai dengan penghentian aktivitas kebanyakan pekerja.
Terlebih kegiatan ekonomi di Jakarta menyumbang sekitar 25 persen terhadap PDB dan menentukan lebih dari 60 persen perekonomian nasional. Jika diasumsikan terdapat 30 persen pengurangan aktivitas pekerja nasional, maka akan berdampak pada penurunan hampir 12 persen PDB.
“Jika ini berlangsung selama dua minggu, PDB tahunan Indonesia akan berkurang sebesar 0,5 persen dan 1 persen jika berlangsung selama satu bulan,” tulis Yose dalam paparannya.
Angka setengah persen tersebut menurut hitungan Yose, setara dengan kehilangan sebesar Rp75 triliun atau hampir setara dengan APBD DKI 2020 yang berkisar Rp88 triliun. Tindakan lockdown menurut Yose akan membawa konsekuensi ekonomi yang tidak sedikit. Bukan hanya untuk wilayah Jakarta, tetapi juga untuk perekonomian nasional.
Selain itu, Yose menilai lockdown belum terlihat efektivitasnya. Misalnya lockdown di provinsi Lombardi, Italia, yang dimulai pada akhir Februari 2020. Namun hingga saat ini virus corona COVID-19 sudah menyebar ke berbagai tempat lainnya. Bahkan ketika pemerintah Italia memutuskan lockdown secara nasional, jumlah kasus baru di negeri Pizza itu terus mengalami kenaikan.
“Sejak restriksi nasional ditetapkan pada 9 Maret, angka kasus baru bertambah sebanyak 15 ribu, tiga kali lebih banyak dari sebelum lockdown nasional,” rinci Yose.
Dengan demikian, menurut Yose, penutupan Jakarta tidak akan mengurangi penyebaran penyakit di Ibukota maupun di luar daerah karena memang sudah tersebar. Selain itu ada berbagai permasalahan yang dapat timbul dan memperburuk situasi di tengah lockdown, misalnya kesiapan logistik dan pangan.
Salah satu permasalahan krusial dari tindakan lockdown adalah memastikan kesiapan suplai bahan pangan dan kebutuhan lainnya. Wilayah DKI Jakarta yang hampir sepenuhnya menggantungkan pasokan air dari luar daerah akan mengalami kelangkaan dan kenaikan harga. Keresahan sosial berpotensi muncul.
“Tekanan kenaikan harga pangan akan semakin kuat akibat sulitnya pasokan bahan baku. Terlebih jika lockdown dilakukan tanpa adanya persiapan yang cukup dengan persiapan prosedur yang jelas. Yang akan terjadi hanyalah kebingungan dan keresahan di masyarakat,” imbuh Yose.
Kesiapan Soal Ketersediaan Pangan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara membeberkan hal yang sama. Kesiapan terkait ketersediaan pangan jika lockdown dilakukan, menjadi sorotan Bhima.
Menurutnya, opsi lockdown menyebabkan arus distribusi barang akan terganggu dan mengarah pada terjadinya kelangkaan bahan pokok khususnya jelang Ramadan. Hal ini akan berujung pada kenaikan harga bahan pangan.
Baca juga: Kronologi Anggota DPRD TTS yang Diduga Ajak Pastor Duel
Jika lockdown terjadi, inflasi Indonesia bisa tembus di atas 6 persen dan merugikan daya beli masyarakat seluruh Indonesia. Di sisi lain, Indonesia pun belum memiliki kekuatan dari sisi ketahanan pangan.
Data Global Food Security Index 2019 menyebutkan peringkat Malaysia dan Filipina masing-masing berada di urutan 28 dan 64 dunia. Posisi Indonesia yang berada di peringkat 62 dunia memang sedikit lebih baik dibanding Filipina.
“Tapi kalau lockdown dipaksakan dan pemerintah tidak memiliki kesiapan terkait stok pangan, maka ujungnya bisa terjadi kelaparan massal di Jabodetabek. Terlebih saat ini kondisi rantai pasok impor pangan sebagian terganggu,” jelas Bhima seperti dikutip Tirto.
Kedua adalah gejolak panic buying masyarakat yang belum bisa diantisipasi oleh pemerintah dan jajarannya. Menurut Bhima, saat lockdown diumumkan, masyarakat yang panik akan menyerbu pusat perbelanjaan. Bukan hanya makanan minuman yang akan diborong masyarakat, tetapi juga obat-obatan.
“Ketika kemarin terjadi panic buying di beberapa daerah, pemerintah tidak punya pencegahan apapun. Yang saya khawatirkan masyarakat menengah bawah, kemampuan untuk menimbun bahan pangan tdak sekuat kelas atas. Sehingga angka kemiskinan bisa naik,” imbuh Bhima.
Ketiga, mayoritas aktivitas bisnis sebagian besar terjadi di Jakarta sehingga peredaran uang pun sebagian besar berada di Ibukota. Jika lockdown terjadi, maka sentra bisnis bisa terganggu dan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) pun bisa terkena dampak paling parah. Menurut Bhima, hal ini bisa menimbulkan tingginya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Akibatnya, pertumbuhan ekonomi RI bisa anjlok secara signifikan dan krisis ekonomi menyapa Indonesia semakin cepat,” rinci Bhima.
Fundamental ekonomi RI yang dinilai belum sekuat Malaysia maupun Filipina pun, menjadi hal yang patut dipertimbangkan jika lockdown dilakukan. Jika penerapan lockdown terjadi, maka dikhawatirkan nilai tukar mata uang akan melemah cukup dalam akibat kepanikan di pasar saham dan surat utang. Salah satu amunisi untuk menahan pelemahan nilai tukar cukup dalam adalah cadangan devisa.
Menurut data CEIC perbandingan cadangan devisa terhadap PDB Indonesia per 2019 sebesar 10,9 persen. Itu pun dengan tren penurunan. Sementara rasio cadangan devisa terhadap PDB Malaysia sebesar 27,2 persen dan Filipina sebesar 21,7 persen. Bahkan rasio cadangan devisa Thailand terhadap PDB mencapai 39,4 persen.
“Artinya dibandingkan negara lain di ASEAN, bank sentral di Indonesia memiliki amunisi yang paling kecil untuk menjaga stabilitas nilai tukar mata uang,” sebut Bhima.
Dengan demikian, kebijakan lockdown patut dihindari oleh pemerintah RI. “Indonesia rentan krisis ekonomi jika lockdown diberlakukan,” ujar Bhima.
Yose Rizal menyebut terdapat tindakan alternatif yang dapat dilakukan pemerintah, dengan langkah utama adalah persiapan fasilitas kesehatan untuk menanggulangi kasus-kasus berat. Selain itu, strategi tracking juga bisa dilakukan pemerintah pusat dan daerah terhadap pasien positif virus corona COVID-19.
Tracking berguna untuk memberikan informasi mengenai daerah-daerah berbahaya serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penanganan pemerintah.
“Pemerintah bisa mengambil tindakan lain yang memiliki dampak lebih besar dan luas, jika langkah lockdown hanya sebatas jalan pintas saja,” ungkap Yose.*