Dawainusa.com — Tindakan represif yang dilakukan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (Pemprov NTT) melalui aparat keamanan gabungan (TNI, Polri dan Satpol PP) terhadap warga Besipae baru-baru ini berbuntut pengaduan.
Pada Rabu (19/8), sejumlah warga Pubabu-Besipae di Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), mendatangi Markas Polda NTT, menuntut keadilan Pemprov NTT dalam perkara Besipae.
Dalam pengaduan itu, warga Besipae menyesalkan tindakan Pemprov NTT yang telah membongkar rumah dan mengusir mereka dari tempat tinggalnya.
Kepada awak media, warga Besipae menilai bahwa tindakan represif itu menunjukkan bahwa Pemprov NTT tidak menganggap masyarakat Pubabu-Besipae sebagai bagian dari masyarakat NTT dan juga warganegara Indonesia.
Merasa tidak berdaya di hadapan Pemprov NTT, warga Besipae pun ingin mengadukan perkara tersebut ke Presiden Joko Widodo.
Bahkan, mereka berniat pindah ke luar negeri jika mengantongi perizinan dari Presiden Jokowi, karena tidak dianggap sebagai warganegara di negeri sendiri.
“Seandainya kami bisa pegang nomor HP-nya Jokowi, maka kami meminta pindahkan kami ke luar negeri sehingga kami jadi orang asing, jangan jadi orang itu Indonesia,” ujar Martheda Esterlina Selan, warga Besipae korban pembongkaran rumah, seperti diberitakan Tribun, Kamis (20/8).
Baca Juga: Miris, Sehari Setelah Jokowi Kenakan Busana Adat TTS, Rumah Warga Besipae-TTS Dibongkar Aparat
Pemprov NTT Bangun 4 Rumah untuk Warga Besipae
Untuk merelokasi warga Besipae yang terdampak , Pemprov NTT telah membangun empat unit rumah sederhana masing-masing berukuran 5×7 meter dan 2×3 meter.
Martheda mengakui bahwa empat unit ruah itu tidak cukup menampung 29 kepala keluarga (KK) yang rumahnya telah dibongkar aparat Selasa (18/8) lalu.
Dengan begitu, puluhan keluarga itu terpaksa membangun rumah-rumah darurat di sekitar lokasi relokasi itu. Lantas, keluarga-keluarga yang memiliki bayi terpaksa tidur dan menetap di rumah yang tak layak bagi kesehatan bayi-bayi.
Baca Juga: Ini Ancaman Bagi Pekerja Kantoran Jika Omnibus Law Disahkan
Selain itu, warga terdampak pun tidak memiliki perlatan makan dan minum karena semua peralatan itu dibawa oleh aparat dalam insiden pembongkaran.
Ijazah anak-anak warga Besipae dan juga tanaman di rumah warga, kata Martheda, juga dibawa aparat gabungan yang diutus Pemprov NTT tersebut.
Dia menyebut, hingga saat ini, anak-anak masih trauma berat dan tiga orang bayi berusia dua bulan, lima bulan dan tujuh bulan masih terus menangis. Mereka akan bertumbuh sebagai generasi traumatik akibat teror pemerintah.
Karena itu, kedatangan warga Besipae ke Mapolda NTT merupakan jalan advokasi untuk mencari keadilan dalam perkara yang sudah berlangsung berbulan-bulan ini.
“Kami datang melapor ke polisi (Polda NTT) supaya ada keadilan buat kami di Pubabu. Intinya kami hanya minta keadilan,” tegas Martheda.
Baca Juga: Bangga, Presiden Jokowi Kenakan Busana NTT di HUT RI Ke-75
Kabid Humas Polda NTT Kombes Johannes Bangun mengatakan, pihaknya telah menerima laporan itu. Bagi dia, masyarakat punya hak untuk melapor.
“Sudah ada laporannya dan sudah kami terima. Kami akan menggelar perkaranya untuk menentukan masuk tindakan pidana atau bukan,” tukasnya.
Pemprov NTT sendiri berkukuh apa yang dilakukan oleh polisi adalah “efek kejut”, sekaligus menegaskan lahan seluas 3.700 hektar itu akan dimanfaatkan sebagai lahan peternakan, perkebunan dan pariwisata demi kepentingan masyarakat adat.
Kepala Badan Pendapatan dan Aset Provinsi NTT, Zeth Sony Libin, mengutip Antara, mengatakan, tindakan yang dilakukan aparat hanya untuk shock therapy agar warga bisa mengosongkan area yang diklaim milik pemerintah setempat.
“Tidak ada anarkis. Tidak ada tindakan represif dan intimidasi serta penelantaran terhadap masyarakat di Pubabu. Apa yang dilakukan aparat keamanan hanya ‘shock therapy’ untuk membangunkan masyarakat agar bersedia menempati rumah yang sudah dibangun pemerintah,” katanya di Kupang, Rabu (19/8).
Zony menghubungi ANTARA melalui telepon seluler untuk menjelaskan video tentang adanya intimidasi terhadap warga yang kini beredar luas.
Menurut dia, pemerintah sudah selesai membangun rumah untuk mereka sejak enam hari lalu. Sejak bangunan siap, pihaknya berusaha melakukan pendekatan dengan warga untuk mendiami rumah tersebut, tetapi tidak mendapat respon.
“Saya sepuluh hari di lokasi. Baru kembali karena ada sidang di DPRD NTT. Tidak ada intimidasi, kami mengajak masyarakat untuk tinggal di rumah yang sudah disiapkan, tetapi mereka justru tidur-tiduran dibawah pohon,” katanya.
Menurut dia, bangunan rumah tersebut dibangun untuk menggantikan rumah warga yang telah digusur.
Namun, karena warga bersikeras sehingga aparat sengaja menembak gas air mata ke tanah dengan tujuan agar warga bisa masuk ke rumah yang disediakan tersebut.
“Saya setiap hari mengajak mereka agar bisa tempati rumah itu tapi mereka sengaja tidur-tiduran di tanah agar terkesan kita tidak memperhatikan dan menelantarkan mereka,” katanya.
Ia menjelaskan, bangunan rumah yang dibangun memiliki beberapa ukuran sesuai dengan ukuran rumah warga yang digusur yakni berukuran 4×6 m dan 5×6 m.*