Dawainusa.com – Analis kebijakan publik, Ridwan Darmawan mengingatkan pemerintah terkait dengan kebijakan Anti-Dumping Baja Lapis Aluminium seng (BjLAS).
Diketahui wacana penerapan anti dumping terhadap Baja BjLAS menuai polemik.
Dialnsir dari RRI.co.id, Kamis (6/5/2021), hal itu lantaran dinilai bebarapa pihak akan merugikan kondisi ketersediaan Baja BjLAS di tengah pesatnya permintaan atas produk tersebut.
Baca juga: Menkominfo Sikapi Peniadaan Mudik, Ajak Masyarakat Lebaran Digital
Ridwan Darmawan Ingatkan Pemerintah Berhati-hati
Ridwan Darmawan bahkan mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam mengamabil kebijakan tersebut.
Apalagi menurut Riddwan Darmawan, penerapan kebijakan anti dumping di sektor Baja BjLAS akan menuai reaksi dunia internasional.
“Tindakan serupa pernah dilakukan pemerintah Indonesia lewat PMK No.137.1/PMK.011/2014 tanggal 07 Juli 2014 dan diperpanjang sesuai PMK No.130/PMK.010/2017 tanggal 19 September 2017. Namun akhirnya kebijakan tersebut hanya terjadi 2 tahun saja karena terdapat salah satu negara terbesar pengekspor produk BjLAS Vietnam mengajukan gugatan ke World Trade Organization (WTO),” papar Ridwan dalam keterangannya, Kamis (6/5/2021).
Ridwan memaparkan, sesuai aturan jangka waktu keputusan untuk diambil tidaknya kebijakan anti dumping 45 hari di tingkat Kemendag, sehingga apabila dihitung sejak usulan sampai saat ini tentunya sudah daluwursa.
“Harusnya isue ini sudah tidak relevan, sementara idealnya rekomendasi keluar ke Mendag 11 Februari 2021, 45 hari kerja artinya 19 April 2021 sementara deadline PMK di Menkeu 9 Juni. Harusnya jika merujuk aturan sudah lewat waktu, bahkan sudah lebih dua minggu,” tegasnya.
Baca juga: TNI Kirim Pasukan Setan ke Papua, KKB Sambut dengan Pasukan Surgawi
Ridwan Darmawan mengingatkan agar pemerintah secara obyetif melihat persoalan impor Baja BjLAS, jangan sampai terkesan hanya menuruti ego pengusul yang pada akirnya memperburuk citra Indonesia di mata dunia internasional.
“Industri BjLAS Indonesia bertumbuh dengan sangat ekspansi dan kesemuanya dalam kondisi yang baik di tengah pandemi ini. Bahwa dengan demikian tidak ada indikasi kerugian dari keseluruhan industri nasional Indonesia. Ini harus menjadi catatan bersama,” tuka Ridwan Darmawan.
Ridwan melihat dalam persoalan ini yang mengklaim rugi dalam penyelidikan hanya pemohon semata dan penyelidikan anti-dumping tidak bisa ditujukan hanya pada kepentingan individu.
“Perlu diingat juga terdapat fakta adanya integrasi vertikal dimana sebagian produsen BjLAS dalam struktur pasar yang sangat terkonsentrasi secara oligoolistic dimana mereka bersaing dengan hilir baik di projek dan di retail. Sehingga, pengenaan bmad akan mematikan hilir yang pada saat ini tengah mengalami supply defisit serius. Ditambah lagi, bahwa sebagian besar produsen BjLAS dalam negeri juga melakukan impor BjLAS dengan volume yang cukup signifikan menunjukkan impor masih diperlukan,” pungkasnya.
Terlebih, menurutnya sudah terdapat pengaturan mekanisme pengendalian impor produk baja termasuk di dalamnya BjLAS secara sangat efektif dan ketat melalui sistem yang rapi, tertata dan transparan di dalam Kemenperindag.
“Sistem ini sudah teruji dan sangat kredibel. Tidak perlu diragukan bahwa dengan kinerja profesional dari Kemenperindag melalui sister yang terukur laju impor sudah mampu dikendalikan secara faktual. Sehinga menurutnya BMAD sudah tidak relevan karena akan mematikan persaingan dan merugikan konsumen akhir, terutama masyarakat kecil sampai menegah,” tutupnya.*