dawainusa.com – Usai menetapkan status darurat kesehatan masyarakat Covid-19, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020.
Perppu tersebut berisi tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Memang ada yang mendukung, seperti Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Mukhamad Misbakhun. Ia menilai, dalam kondisi sulit karana Covid-19 diperlukan kebijakan luar biasa.
Baca juga: Jokowi Gratiskan Listrik Selama 3 Bulan, Cek Syaratnya!
Meski demikian, Misbakhun tetap meminta pemerintah untuk berhati-hati. Terutama mengenai imunitas bagi anggota dan sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI).
“Memang harus disikapi dengan hati-hati soal pasal terkait dengan imunitas hukum untuk pengambil kebijakan. Jangan sampai kemudian menimbulkan moral hazard dalam pelaksanaan sehingga menjadi masalah hukum di masa depan,” katanya di Jakarta, Kamis (2/3/2020).
Yang menjadi sorotan dalam Perppu tersebut adalah Pasal 27. Dalam pasal tersebut terdapat klausul yang menyatakan bahwa tiap biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelamatan perekonomian dari krisis bukan merupakan kerugian negara.
Artinya, mereka yang tergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tak bisa dituntut baik secara perdata maupun pidana. Untuk diketahui, mereka yang tergabung dalam KSSK di antaranya Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Pengacara Amar Law Firm Alghiffari Aqsa kembali menegaskan soal pasal ini. Ia mengatakan, pasal tersebut seolah menutup kemungkinan adanya gugatan akibat penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara.
“Pasal tersebut memunculkan kekuasaan yang absolut untuk pemerintah,” kata Alghif dilansir Tirto, Rabu (1/4/2020).
Beleid tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan di tengah pandemi itu, menurutnya, juga melanggar prinsip negara hukum yang menerapkan check and balances.
Karena itu, ia mengusulkan agar Pasal 27 tentang tersebut dihapuskan. “Harus dibatalkan,” tegas mantan Direktur LBH Jakarta tersebut.
Jauh sebelum Perppu tersebut diterbitkan, pemberian hak imunitas atau kekebalan hukum bagi anggota KSSK sebenarnya telah lama menjadi perdebatan. Terutama, dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan.
Namun, usulan pemerintah agar pengambil kebijakan mendapat hak imunitas ketika terjadi krisis sistem keuangan selalu ditolak DPR.
Rancangan aturan tersebut akhirnya disahkan—kini bernama UU Pencegahan dan Penanganan Krisis— tanpa adanya hak imunitas bagi KSSK, melainkan hanya pendampingan hukum.
Lantas mengapa pemerintah kembali menjamin adanya kekebalan hukum bagi anggota KSSK?
Belajar Dari Krisis 1998 dan 2008
Soal pasal yang menuai polemik itu, Staf khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, menjelaskan, pasal tersebut tak bisa dilepaskan dari pengalaman di masa krisis 1998 dan 2008.
Para pengambil kebijakan di masa krisis, kata Dini, rentan terkena diseret ke meja hijau jika ditemukan adanya kerugian negara.
Salah satu contohnya adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Baca juga: WHO Sebarkan Panduan Merawat Pasien Corona di Rumah
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka dan diadili karena menerbitkan surat keterangan lunas obligor Sjamsul Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada tahun 2004.
Padahal, Sjamsul masih memiliki utang sebesar Rp4,8 triliun yang belum dibayar usai menerima likuiditas dari BPPN di masa krisis 98. Kepala BPPN di era Presiden Megawati Soekarnoputri itu didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun.
Meski demikian, putusan kasasi Mahkamah Agung menyatakan bahwa perbuatan Syafruddin bukan tindakan pidana, melainkan perdata. Dua tahun usai kasusnya bergulir di pengadilan, pada Juli 2019, Syarifuddin dinyatakan bebas.
Selain itu ada pula kasus Century, yang berujung pada drama pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Saat krisis ekonomi global di tahun 2008 mengguncang Indonesia, KSSK yang dikoordinatori Sri Mulyani meloloskan pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) alias bailout kepada Bank Century (kini menjadi J Trust Bank) untuk mencegah krisis perbankan di tahun 2008.
Tapi oleh Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket Century di DPR, kebijakan itu dinilai mengandung unsur pidana karena tak didasarkan pada data dan kondisi Bank Century sesungguhnya. Krisis perbankan dinilai tak akan terjadi meski pemerintah tidak mem-bailout Century.
Faktanya, tak ada ada bukti empiris bahwa dengan tidak memberikan bailout kepada Century, krisis perbankan tidak akan terjadi.
Karena itu lah, menurut Dini, dalam menghadapi krisis saat ini pemerintah perlu memberikan jaminan bahwa berbagai kebijakan yang diambil tak dianggap sebagai tindak pidana, meski berpotensi merugikan keuangan negara.
“Dalam situasi tidak normal ini bisa jadi bantuan likuiditas yang diberikan oleh pemerintah tidak dapat sepenuhnya dikembalikan. Namun bantuan tersebut tetap mau tidak mau harus diberikan dalam situasi ini,” kata Dini, Rabu (1/4/2020).
Dini juga menegaskan bahwa keberadaan pasal ini bukan lah upaya pemerintah untuk melindungi pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Ia mengatakan, tindak pidana korupsi tetap bisa diproses jika ada unsur mens rea atau itikad tidak baik.
“Kalau pun nanti ada bantuan yang tidak dapat dikembalikan, tidak bisa langsung serta merta dianggap korupsi atau merugikan negara,” tegas Dini.
Dini pun menjamin kalau pemerintah menjalankan peraturan dengan baik. Sebab, pemerintah sudah mengatur mekanisme pengawasan tim agar tetap berjalan sesuai koridor.
“Kalau pun ada penyelewengan dan dapat dibuktikan, berarti hal tersebut dilakukan di luar koridor. Jadi tidak lagi terproteksi oleh Perppu. Begitu jalan pikirannya,” tutur Dini.
Perppu Corona, Kebijakan Memang Tak Bisa Dipidana
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zaenur Rohman menilai, pasal yang memuat ketentuan penutup itu cenderung berlebihan.
Sebab dari sudut pandang studi korupsi, keputusan pemerintah yang menimbulkan kerugian negara tak serta-merta bisa dikategorikan sebagai tindak pidana.
Baca juga: 3 Kebijakan Anies Baswedan Soal Corona yang Ditangguhkan Jokowi
“Ini tidak perlu, karena sudah jelas dengan sendirinya, sebagai unsur Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor. Tanpa melawan hukum, (keputusan pejabat negara) bukan merupakan perbuatan pidana,” kata Zaenur, Rabu (1/4/2020).
Di samping itu, menurut dia, Perppu tak perlu mengatur bahwa keputusan KSSK tak bisa menjadi objek gugatan PTUN. Sebab, ketentuan tersebut sudah diatur dalam UU Administrasi Pemerintahan.
Artinya, tanpa adanya Perppu tersebut, kebijakan yang dikeluarkan KSSK tak akan dipersoalkan selama sesuai kewenangan dan fungsinya.
“Namun, jika kebijakan diambil disertai dengan kepentingan demi keuntungan pribadi, maka secara hukum tetap dapat dipersoalkan meskipun ada pasal 27,” tegas Zaenur.*