Dawainusa.com – Jarang diketahui publik, Haliman ternyata merupakan sosok seorang pelari tunanetra yang memiliki banyak prestasi.
Dilansir dari RRI.co.id, pria berusia 41 tahun ini dikenal sebagai yang telah beberapa kali mengharumkan nama daerahnya di sejumlah kompetisi nasional.
Dalam keterbatasan kondisi fisiknya, pria ini kerap meraih penghargaan dalam beberapa ajang kompetisi di tingkat nasional.
Baca juga: Nama Yenny Wahid dan Gus Yaqut Jadi Pembahasan Arus Bawa PKB
Sederet Prestasi Haliman
Untuk diketahui, menjadi pelari sudah dilakoni Haliman sejak sembilan tahun lalu.
Selama itu pula, ia kerap menorahkan sejumlah prestasi yang membanggakan.
Salah satu prestasi terbaiknya meraih medali emas pada Pekan Paralympik Nasional tahun 2016 lalu.
“Saya ini anak desa yang biasa lari-lari dan bermain. Kebetulan dilihat oleh teman dan pelatih katanya ada bakat. Saat tes awal catatan waktunya memang belum masuk, tapi terus diasah dan akhirnya bisa punya prestasi seperti sekarang,” ungkap ayah dua orang anak ini.
Namun sebagaimana dikutip dari RRI.co.id, sebagai atlet dengan sederet prestasi, kehidupan Haliman cukup memprihatinkan.
Di rumah kontrakannya yang berukuran 5 x 6 meter, ia tinggal bersama istri dan satu orang anaknya yang masih berusia 3 tahun.
Sementara itu, putri sulungnya saat itu sedang melanjutkan kuliah di Sumatera Barat.
Saat masih kecil, pria yang berasal dari Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan ini hidup layaknya kebanyakan orang dengan mata normal.
Kemampuannya untuk melihat hilang seketika ketika dirinya berusia 15 tahun karena terserang penyakit.
“Saat itu saya sangat terpukul bahkan sempat terpikir untuk bunuh diri, tapi karena dukungan orang tua semangat saya kembali muncul. Mungkin tanpa mereka saya sudah tidak ada di dunia ini,” kenangnya.
Meski demikian, di tengah keterbatasannya, Haliman tetap berjuang untuk menafkahi keluarganya.
Baca juga: Sempat Terseret Banjir, Bocah 2 Tahun Ini Diselamatkan Sang Opa
Untuk menghidupi keluarganya, ia bekerja sebagai tukang pijat dengan penghasilan yang pas-pasan.
“Kebetulan tagihan kontrakan datang, banyak barang yang mau dibeli dan harus bayar sekolah anak. Semuanya berbarengan. Karena saya hanya mengandalkan penghasilan dari ngurut (pijat-red). Ketika pasien sepi seperti sekarang ini disitulah susahnya,” keluh Haliman.
Untuk membantu memenuhi kehidupan sehari-hari, sang istri, Neti Sartika, membuka warung kecil di rumahnya.
Meski hidup dalam keterbatasan, Haliman memiliki tanggungjawab atas hidup ketiga adiknya di kampung.
Dari Sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai tukang pijat disisihkan untuk menyelesaikan pendidikan ketiga orang adiknya.
“Ada uang sedikit saya sisihkan untuk membantu sekolah tiga orang adik saya. Sekarang semuanya sudah lulus SMA,” jelasnya.
Dia pun mengungkapkan bahwa perjuangan hidup mesti dibarengi dengan ketekunan, kesabaran dan doa.
“Hidup itu ibaratkan gelombang. Kalau kita takut ya takut, tapi ketika gelombang sudah menepi maka tidak ada lagi yang perlu ditakuti. Intinya tetap sabar tekun dan berdoa,” pungkasnya.*