dawainusa.com – Penyebaran virus corona semakin mencekam. Jumlah pasien yang terpapar virus mematikan ini pun terus bertambah. Pada 18 Maret 2020 lalu, pemerintah telah mengumumkan sebanyak 227 orang dinyatakan positif corona. Ada 19 orang meninggal dan 11 lainnya sembuh.
Jika dihitung tingkat kematiannya (case fatality rate), Indonesia berada di angka 8,37 persen. Sementara tingkat kematian global sebesar4,01 persen. Artinya posisi Indonesia berada di atas tingkat kematian global.
Baca juga: Wali Kota Bogor Positif Corona, Pesan Sang Isteri Bikin Haru
Sementara tingkat kesembuhan berada di angka 4,84 persen. Cukup jauh di bawah tingkat kesembuhan global yang berada di angka 39,95 persen.
Indonesia, jika dilihat dari statistik, menjadi salah satu negara dengan tingkat kematian tertinggi. Selain itu adaFilipina dengan 9,4 persen, kemudian Italia dengan 7,94 persen, lalu disusul Iran sebesar 6,53 persen. Cina dengan angka kematian tertinggi justru memiliki CFR lebih rendah yakni 3,84 persen.
Diagnostic Kit Terbatas
Terkait tingkat kematian yang tinggi, Juru Bicara Forum Peneliti Muda Indonesia atau Young Scientist Forum (YSF) Berry Juliandi mengatakan, hal itu dikarenakan masih cukup rendahnya angka kasus positif di Indonesia jika dibandingkan negara lain. Sebab pemerintah Indonesia tak melakukan mass screening.
“Kemungkinan karena ada pasien terinfeksi yang belum semuanya terdata. Jadi kalau semuanya terdata pembaginya menjadi besar sehingga mortality ratenya menjadi lebih rendah,” jelas Berry seperti dilansir Tirto.id, Kamis (19/3/2020).
Baca juga: Anies: Kegiatan Perkantoran di Jakarta Dihentikan Sementara
Berry menambahkan, tingkat kematian di Indonesia tak bisa dibandingkan dengan tingkat kematian negara lain. Misalnya saja dengan Korea Selatan yang melakukan pendataan secara masif sehingga angka kasus positifnya mendekati akurat.
“Masalahnya ada di diagnostic kit yang terbatas dan pelepasan informasi,” kata Berry.
Perlu diketahui per 18 Maret, Korea Selatan memiliki tingkat kematian 0,09 persen dengan total kasus positif 8.413 dan kasus meninggal 84 kasus. Angka diagnosa yang rendah, lanjut Berry, disebabkan belum adanya anggaran untuk melakukan tes massal.
Korea Selatan hingga saat ini mampu melakukan ribuan tes per hari. Sementara Indonesia hanya membatasi tes pada mereka yang pernah melakukan kontak dengan pasien positif.
“Sehingga kasus positif yang terkonfirmasi menjadi lebih sedikit dan memengaruhi tingkat kematian,” pungkas Berry.
Laboratorium Pemeriksa Terpusat di Satu Tempat
Faktor lain yang menyebabkan angka kasus terkonfirmasi sedikit yakni laboratorium pemeriksa yang hanya terpusat di satu tempat saja yakni Balitbangkes Jakarta. Baru-baru ini kemudian didesentralisasi ke Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan (BBTKL), Universitas Airlangga, dan Lembaga Eijkman.
Hal ini senada dengan pernyataan Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus. Dia mengatakan, WHO telah melihat kasus yang tidak terdeteksi atau terdeteksi pada tahap awal wabah mengakibatkan peningkatan signifikan dalam kasus dan kematian di beberapa negara.
Baca juga: Positif Corona, Ini yang Dialami Wali Kota Bogor Bima Arya
Maka dari itu, ia merekomendasikan membangun kapasitas laboratorium yang memadai dan terdesentralisasi. Jika kelompok penyebar virus Corona mudah terindentifikasi, tindakan yang tepat segera bisa dilakukan untuk menanggulanginya.
Jika melihat kasus meninggal di Indonesia, ada yang masih menunggu hasil pemeriksaan COVID-19 saat diumumkan meninggal. Misalnya saja pada kasus pasien di Cianjur , Jawa Barat. Dia baru dinyatakan positif terjangkit COVID-19 setelah meninggal.
Kematian Pasien Corona, Lambat Hadapi Virus
Kemampuan Indonesia dalam menangani pandemi virus corona juga menjadi sorotan, bukan hanya oleh warga negaranya sendiri, namun juga WHO. Sejauh ini, pemerintah belum memikirkan protokol lockdown dam baru menyarankan metode social distancing.
Namun, kampanye social distancing ini juga tidak efektif. Tidak semua perusahaan menaati imbauan pemerintah untuk menerapkan sistem kerja Work From Home (WFH). Masih banyak yang berdesak-desakan di transportasi umum seperti KRL, MRT, dan TransJakarta. Ini membuat laju penyebaran virus corona masih sulit dibendung.
Baca juga: China Temukan Pasien Pertama yang Terinfeksi Corona Covid-19
Adapun wacana tes secara masif baru dicetuskan setelah hampir 3 minggu sejak pengumuman kasus pertama virus corona di Indonesia. Tidak jelas apakah tes ini akan diberikan secara gratis untuk masyarakat, yang pasti rumah sakit perlu membayar alat tes tersebut walau pemerintah mengklaim bahwa harga alatnya akan terjangkau.
Kabarnya, ribuan alat rapid test virus corona yang dipesan dari China telah tiba di Indonesia. Tapi belum diketahui kapan pemerintah akan mengimplementasikan tes virus corona massal untuk masyarakat.
Di beberapa kawasan, terutama bagian timur seperti Nusa Tenggara dan Bali, pencegahan yang dilakukan untuk menangkal virus corona kurang tanggap. Ini bisa dilihat di Bali, di mana ribuan turis dari berbagai negara masih datang di awal Maret lalu, seperti dilaporkan Asia Times.
Seruan publik untuk Presiden Jokowi mencopot Menteri Kesehatan Terawan Putranto pun sempat memenuhi ruang publik. Dokter militer tersebut dianggap gagal menangani virus corona secara serius.
Kritik juga hadir untuk Presiden Jokowi yang dianggap lebih mementingkan dampak ekonomi dari lockdown ketimbang bagaimana mencegah wabah semakin meluas di tengah ketidakpastian kemampuan sarana medis di Indonesia.*