Kilas Dawai – Usia saya tigapuluh, lebih setahun. Umur yang cukup memalukan untuk mengaku diri masih, masih muda. Jumlah hari-hari hidup yang lumayan mencemaskan saat menyandang predikat bujangan. Kesimpulan: tidak laku?
Pedagang kaki lima, pemilik kios kecil, pelaku usaha warung hingga taipan yang punya sekian puluh perusahaan akan paham benar dengan istilah itu: tidak laku.
Ah, ya. Berhubung kita akan membahas tema tentang media online, tambahkan juga nama Larry Page dan Mark Zukerberg. Mereka pasti paham barang itu. Tidak laku.
‘Laku’ adalah kata yang se-kembaran dengan ‘Laris’ dan masih se-marga dengan ‘Terjual.’ Ketiganya adalah kata yang lekat dengan rumpun keluarga ‘Tukar-Menukar’ dalam taksonomi ‘Tindakan Ekonomi’. Dalam kata-kata itu, tersirat arti ada sesuatu dalam bentuk barang atau jasa yang diperjual-belikan.
Ketika ‘Laku’ dilekatkan sebagai predikat pada manusia, itu jadi soal. Perawan Tua adalah istilah yang tidak jauh-jauh dari itu: seorang wanita yang belum atau tidak laku. Begitupun penyematan predikat Bujang Lapuk – kepada saya, misalnya: juga berarti seorang lelaki yang belum atau tidak laku.
Pertanyaannya adalah, apakah kami, kawanan bujang lapuk dan perawan tua ini, adalah barang? Kalau iya, siapa yang memperjualbelikan kami? Kalau tidak, dalam konteks apa istilah ‘tidak laku’ disematkan kepada seseorang?
Ah, mungkin pertanyaannya salah. Saya ganti. Apakah yang dinilai dari kami, kawanan bujang lapuk dan perawan tua ini adalah jasa? Kelewat kurang ajar namanya kalau saya tanyakan lagi, apa jasa yang diharapkan dari seorang wanita perawan atau pria bujangan? Akan ada yang tersinggung, atau malah tertawa terbahak-bahak.
Tetapi, kalau dipikir-pikir, ini masalah yang begitu-amat-sangat serius tentang masyarakat kita. Masyarakat yang mengaku-ngaku ingin memberantas human trafficking. Ya, bagaimana mungkin kosa kata ‘tidak laku’ masih disematkan pada perawan tua dan bujang lapuk oleh orang-orang beradab yang mengaku-ngaku anti perdagangan manusia?
Saya jadi teringat dengan ungkapan yang kerap dilekatkan seorang rekan aktivis mahasiswa saban berargumen di media sosial, entah di wall-nya atau di status orang lain. “Pemerintah dan masyarakat kita cenderung menerapkan standar ganda,” katanya tiap kali.
Tentang Media Online di Indonesia
Mari bicara tentang media online, topik utama tulisan ini. Kita tinggalkan sejenak para bujang lapuk dan perawan tua.
Di pertengahan Februari lalu, Ketua Dewan Pers Yosep Stanley Adi Prasetyo menyebutkan, Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah media paling banyak di dunia. “Dewan Pers punya catatan ada sekitar 47 ribu media (di Indonesia), 44.300 di antaranya media online, sisanya adalah media cetak, televisi, dan radio,” kata Yosep ketika itu.
Jangan tanya, bagaimana cara Dewan Pers mendokumentasikan detail jumlah sebanyak itu. Juga jangan tanya begini, “Itu kan, data Februari 2018, empat bulan sebelum Pilkada serentak dilaksanakan. Sekarang ini, berapa jumlah persisnya?”
Atau, jangan bertanya seperti ini, “Sebentar lagi kan momen Pilpres dan Pileg. Jika ditambah dengan media online yang tiba-tiba mendadak muncul jelang momen pemilu 2019, berapa total media online di Indonesia saat ini?”
Pokoknya jangan. Ganti pertanyaannya dengan “Dari 44.300 yang sempat terdata itu, berapa yang sudah terverifikasi?”
Jumlah pasti, versi Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dalam paparan di awal tahun ini adalah: tidak lebih dari 100 media. Tidak lebih dari 100 mungkin saja berarti: satu media, dua media, atau tiga, atau 99 media.
Bayangkan! Dari 44.300 media online, jumlah yang terverifikasi Dewan Pers baru ‘tidak lebih dari 100’ media. Seumpama legalitas sebuah pernikahan, jika Dewan Pers adalah satu-satunya lembaga yang dirujuk Menteri Komunikasi dan Informatika untuk menyatakan sah-tidaknya sebuah pernikahan (menurut negara dan masyarakat), bisa dihitung berapa banyak media online kumpul kebo alias kawin di luar nikah.
Begitulah. Masyarakat dan pemerintah (negara) begitu ngontot soal resmi atau sah-nya sebuah pernikahan, sedangkan di sisi lain lain, tidak ambil pusing dengan 44.201 media yang belum terverifikasi (anggap saja ujaran ‘tidak lebih dari 100’ yang dipaparkan pak Menteri berjumlah 99).
Makan, benarlah ungkapan yang kerap dilekatkan seorang rekan aktivis mahasiswa saban berargumen di media sosial, entah di wall-nya atau di status orang lain.
“Pemerintah dan masyarakat kita cenderung menerapkan standar ganda,” katanya tiap kali.
Laku: Sebuah Catatan tentang Eksistensi
Mari kita undang undang kembali istilah bujang lapuk dan perawan tua untuk duduk bersama tema media online membahas kata ‘Laku’.
Begini. Jika dilihat dari versi KBBI daring, kata ‘Laku‘ punya tiga arti. Pertama, perbuatan; gerak-gerik; tindakan; cara menjalankan atau berbuat. Kedua, laris (tentang barang dagangan); sudah terjual: dagangannya. Ketiga, boleh dipakai (tentang uang, karcis, dan sebagainya); sah.
Saya bukan ahli bahasa dan tidak sedang ingin membahas kata ‘Laku’ dalam cakupan kerangka ‘linguistik’. Tidak serumit itu. Membahas kata ‘Laku’ terpikir saat merenungkan umur saya yang sudah mejelang ‘lapuk’, sekaligus usia ‘dawainusa.com’ yang baru genap setahun.
Benang merah dari ketiga arti kata ‘Laku’ tadi, saya terjemahkan seperti ini. ‘Laku’ adalah wujud dari ‘keberadaan’ sesuatu atau seseorang, yang dengannya ia dapat ditentukan ‘nilai dan manfaatnya’ oleh orang lain atau lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, ‘Laku’ sekaligus berarti catatan atas eksistensi sesuatu atau seseorang.
Analoginya kira-kira seperti ini. Seorang yang telah menempuh pendidikan kedokteran tetapi setelah menjadi dokter tidak bisa (atau salah) ‘menyembuhkan’ orang sakit, tidak bisa (atau salah) mempublikasikan riset kesehatan, atau tidak bisa (atau salah) meracik obat-obatan akan dianggap sebagai dokter yang ‘tidak berguna’.
Ia tidak bisa bertindak (berlaku) seperti selayaknya seorang dokter. Karenanya, jasanya tentu tidak akan banyak digunakan (tidak laku). Praktik atau statusnya sebagai dokter pun bisa dicabut dan izinnya dinyatakan tidak resmi (tidak berlaku lagi).
Contoh lain bisa diambil dari banyak profesi berbeda. Tetapi, bagaimana dengan penyematan ‘tidak laku’ bagi kita, para bujang lapuk dan perawan tua? Bisa saja itu terkait dengan naluri dasar setiap makhluk hidup, yakni berketurunan dan berkembang-biak.
Ketika seorang wanita tidak kunjung dipinang untuk dinikahi, atau ketika seorang lelaki selalu ditolak saban mengutarakan isi hati atau mencari istri, ia tidak laku. Ia dianggap tidak ‘bermanfaat’, karena tidak dapat meneruskan garis keturunan.
Bisa juga akan terkait dengan kelaziman atau ke-resmi-an. Lazimnya, menurut ‘anggapan umum di tengah masyarakat’, seorang wanita atau pria di jenjang umur tertentu harusnya telah menikah dan berketurunan. Dan, untuk beberapa kelompok masyarakat, ‘telah menikah’ juga menjadi syarat agar seseorang ‘resmi’ diterima dalam barisan ‘orang yang telah dianggap dewasa’.
Juga, ‘Laku’ terkait dengan bentuk dan kemampuan fisik seseorang. Seseorang dengan kondisi fisik atau mental yang buruk, akan dianggap ‘memberikan’ keturunan atau anak-anak yang juga buruk. Banyak wanita dan lelaki yang tak kunjung mendapat pasangan a.k.a ‘tidak laku’ karena faktor ini.
Ah, saya teringat dengan postingan status Whatsapp seorang teman subuh tadi: “Jika kau sudah berkorban, beri perhatian dan novena sekalipun, tapi dia tetap tidak mau dengan kau, berarti masalahnya cuma satu: MUKA”.
Demikianlah ‘Laku’ menjadi wujud dari ‘keberadaan’ sesuatu atau seseorang, yang dengannya ia dapat ditentukan ‘nilai dan manfaatnya’ oleh orang lain atau lingkungan sekitarnya.
Lalu, bagaimana dengan orang-orang yang memilih untuk tidak menikah karena niat tertentu? Pastor atau suster, misalnya. Begitulah. “Pemerintah dan masyarakat kita cenderung menerapkan standar ganda,” kata teman saya setiap kali.
Menjadi Media Online yang ‘Laku’
Dalam kerangka itu, ‘Laku’ menjadi catatan reflektif untuk ulang tahun Dawainusa.com yang pertama. Apakah selama setahun kehadirannya di tengah masyarakat Nusantara, khususnya Nusa Tenggara Timur, ia telah menjadi media online yang bermanfaat?
Kalau iya, dalam hal apa?
Kalau tidak, tutup saja. Biar tak repot Kominfo dan Dewan Pers mengurusi perizinannya nanti.
Ahh.. Catatan ini sudah kelewat panjang. Padahal katanya, tulisan di media online mestinya ringkas, padat dan jelas. Supaya tak perih di mata, agar tak lekas habis kuota, biar tak cepat lari pembaca. Tetapi toh, masih banyak juga media online yang kini tulisannya senjang hikayat Kubilai Khan.
Maklumlah. “Pemerintah dan masyarakat kita cenderung menerapkan standar ganda,” kata seorang teman.*