Karantina Wilayah: Ketika Pemda Lebih Tegas dari Jokowi

Apa yang terjadi saat ini di daerah-daerah sebetulnya selaras dengan rekomendasi para ahli untuk menghentikan penyebaran COVID-19.

Ilustrasi - ist

dawainusa.com Sejak kasus pertama dikonfirmasi pada 2 Maret 2020, laporan kasus virus corona di Indonesia kini terus bertambah setiap harinya. Bahkan beberapa hari terakhir, tambahan kasus covid-19 melebihi angka 100.

Pada Sabtu (28/3/2020), Indonesia melaporkan tambahan sebanyak 109 kasus baru, sehingga total mencapai 1.155 kasus. Persebaran kasus yang cukup masif memang sangat mengkhawatirkan publik.

Sejumlah pihak mendesak untuk melakukan lockdowan atau karantina wilayah demi menekan perseabaran covid-19 itu. Namun hingga kini, istana belum beranai mengambil opsi lockdown.

Baca juga: Rapat Terbatas Soal Corona, Jokowi Minta 2 Kebijakan Ini Diterapkan

Bahkan, pemerintah pusat berkali-kali memperingatkan daerah untuk tidak menerapkan kebijakan lockdown. Pada pertengahan Maret lalu, saat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hendak menerpkan kebijkan itu, Presiden Jokowi mengatakan itu adalah kewenanga pusat.

Penegasan Jokowi soal lockdown sebagai kebijakan pusat, justeru tidak membuat daerah berhenti melakukan lockdown. Istilah lockdown memang tidak digunakan di daerah, tetapi apapun sebutannya, sepanjang itu mengarah pada kebijakan penutupan wilayah.

Beberapa daerah seperti Papua, Tegal, dan Aceh telah melakukan hal tersebut. Bahkan ada pula lockdown yang diinisiasi warga. Ini misalnya terjadi di kampung-kampung di Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta. Lockdown diterapkan dengan cara memalang jalan-jalan.

Ketua RW 24 Dusun Cepet, Desa Purwobinangun, Pakem Suwarso, menegaskan semua warga sepakat “karena itu demi kebaikan bersama.” Foto-foto lockdown lokal beredar viral di media sosial.

Di Twitter, akun @merapi_news mengunggah foto warga yang memasang bambu secara melintang disertai spanduk dengan beragam tulisan. Di antaranya ada tulisan: “lockdown, stay at home, di rumah aja, sementara ditutup.”

Pada 24 Maret lalu, Gubernur Papua Lukas Enembe megeluarkan kebijakan untuk menutup akses penerbangan dan pelayaran per 26 Maret hingga 9 April. Akses hanya akan dibuka untuk angkutan barang dan bahan makanan.

Keputusan Enambe memang akan terlihat sangat wajar di tengah fasilitas kesehatan provinsi tersebut yang kurang memadai menghadapi pandemi. Misalnya, hanya ada dua ruang isolasi berstandar WHO.

Kebijakan Enambe ditentang oleh pemerintah pusat. Kementerian Perhubungan tegas mengatakan “tidak ada penutupan bandara.” Pelayanan terhadap penerbangan penumpang maupun barang masih terbuka di bandara-bandara nasional.

Di Tegal, Wali Kota Dedy Yon Supriyono menerapkan lockdown dengan hanya membuka tak lebih dari tiga pintu masuk – yang merupakan jalan provinsi dan jalan nasional. Meskipun menuai banyak kritikan, opsi Dedy menerapkan lockdown tentu punya alasan.

Ini dilakukan karena “ada satu pasien positif pulang dari Abu Dhabi. Dia pulang dari Abu Dhabi lolos di bandara, lolos di stasiun sampai Tegal dia sudah mengeluh langsung masuk ke rumah sakit ternyata positif.”

Dedy pun diminta untuk tidak bertentangan dengan pemerintah pusat soal pemberlakuan lockdown di daerah, sebab ada konstitusi yang mengatur semuanya.

Selain di Tegal dan Papua, Kota Banda Aceh juga menerapkan apa yang disebut dengan ‘lockdown parsial’.

Melansir Antara, Ketua DPRK Banda Aceh Farid Nyak Uma, mengatakan, lockdown parsial tersebut diberlakukan khusus terutama di kawasan tempat tinggal pasien yang terpapar COVID-19 dan kawasan yan sudah terdata [tinggal] orang dalam pemantauan (ODP).

Mereka bahkan meminta Provinsi Banda Aceh melakukan hal serupa dengan menutup akses masuk via bandara dan darat.

Hal yang sama terjadi di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan penutupan akses trasportasi laut dan udara. Kebijakan itu menuai kritikan dan ditentang oleh pemerintah provinsi.

Perkiraan Biaya yang Dikeluarkan Jika Jakarta Dilockdown
Jakarta – ist

Karantina Wilayah, Pemerintah Daerah Lebih Tegas

Apa yang terjadi saat ini di daerah-daerah sebetulnya selaras dengan rekomendasi para ahli untuk menghentikan penyebaran COVID-19.

Mereka merekomendasikan apa yang dinamakan ‘karantina wilayah’, istilah hukum dari lockdown menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Baca juga: 5 Biarawati Indonesia di Italia Positif Corona Covid-19

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pun menyebut secara bahasa, lockdown itu sama artinya dengan karantina wilayah. Dalam UU tersebut disebut karantina wilayah adalah pembatasan pergerakan orang untuk kepentingan kesehatan di tengah masyarakat.

Salah satu yang merekomendasikan lockdown adalah Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI).

Dalam surat 14 Maret, mereka meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan karantina wilayah di daerah yang telah terjangkit COVID-19 karena penting untuk meningkatkan kecepatan dalam membatasi penyebaran virus.

Hal serupa kembali dinyatakan dalam kajian ilmiah yang diserahkan kepada Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Kajian itu bernomor 1219/PB PAPDI/U/III/2020 bertanggal 27 Maret 2020.

Sekjen PB PAPDI Eka Ginanjar mengatakan kebijakan ini diperlukan untuk “memutus rantai penyebaran.” Ini mendesak karena angka laju kematian karena COVID-19 mencapai 7-9 persen, atau termasuk yang tertinggi dibanding negara lain.

Arus mudik yang meski ditahan akan tetap ada merupakan “potensi besar penyebaran di daerah,” sementara “kemampuan daerah akan sangat berbeda-beda” saat menangani pandemi. Setidaknya ada 14 ribu penumpang dari ratusan armada bus AKAP membawa pemudik dalam waktu 8 hari.

Eka berpendapat, pemerintah daerah bergerak sendiri karena mereka mulai paham bahwa lockdown memang jalan paling masuk akal untuk menahan laju penyebaran virus yang belum ditemukan obatnya ini.

Selain PB PAPDI, desakan lockdown juga datang lewat Rekomendasi Strategi Penanganan Covid-19 yang dikeluarkan sembilan organisasi tenaga kesehatan.

Organisasi yang mengeluarkan pernyataan serupa adalah Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Ikatan Ahli Urologi Indonesia (IAUI), Laboratorium Eijkman, RS Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Wecare.id.

Selain itu, Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pun menyarankan agar Indonesia segera dilockdown. Ketua Dewan Pengurus LP3ES Didik J. Rachbini dan Peneliti LP3ES Fachru Nofrian mengatakan hingga kini pemerintah terlalu angkuh untuk terus menyatakan tidak mau melakukan lockdown.

“Pemerintah dengan angkuhnya menyatakan tidak ada lockdown! Sudah begitu banyak yang memberikan saran tetapi nampaknya keras kepala, ciri kepemimpinan seolah-olah kuat, tetapi menghadapi masalah dalam manajemen yang krisis,” tulis kedua ekonom.

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan “pemerintah pusat harus bertanya ke dirinya sendiri mengapa pemda mengambil inisiatif itu lebih dahulu.”

Menurutnya keberanian pemerintah daerah mengambil keputusan lockdown mengisyaratkan beberapa hal. Pertama, mereka lebih peka terhadap keadaan darurat ketimbang pusat; kedua, mereka lebih mengutamakan kesehatan dan keselamatan warga daripada kalkulasi untung rugi.

“Dengan segala kewenangan terbatasnya saja pemerintah daerah berani, masak pemerintah pusat yang punya kewenangan jauh lebih besar lamban dan terkesan menunda-nunda?” katanya.

Jakarta – ist

Langkah Pemerintah

Dalam rapat terbatas terkait Laporan Gugus Tugas Covid-19, Presiden Jokowi meminta agar kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) diterapkan.

Selain penerapan PSBB, Jokowi juga menghendaki penerapan darurat sipil. Kebijakan ini diterapkan karena Jokowi ingin menempuh langkah yang lebih efektif.

Baca juga: Rapat Terbatas Soal Corona, Jokowi Minta 2 Kebijakan Ini Diterapkan

“Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing dilakukan lebih tegas, disiplin, dan lebih efektif lagi, sehingga saya sampaikan juga tadi bahwa perlu didampingi kebijakan darurat sipil,” ujar Jokowi.

Jokowi meminta para menteri membuat regulasi yang mengatur tentang penerapan pembatasan sosial berskala besar ini. Dengan begitu, pemerintah daerah dapat menerapkan sejalan dengan pemerintah pusat.

“Dalam menjalankan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, saya minta agar segera disiapkan aturan pelaksanaan yang lebih jelas sebagai panduan bagi provinsi, kabupaten, kota. Sehingga mereka bisa kerja,” katanya.

Dalam akun @fadjroel, ia menyatakan bahwa Jokowi telah menetapkan tahapan baru perang melawan covid-19 yaitu pembatasan sosial berskala besar dengan kekarantinaan kesehatan. Namun jika keadaan sangat memburuk dapat menuju darurat sipil.*

Exit mobile version