Dawainusa.com — Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berpotensi mengancam para pekerja kantoran jika benar-benar disahkan DPR.
Pasalnya, RUU ini akan tidak hanya berdampak langsung terhadap para buruh, petani, nelayan, dan lingkungan hidup, tapi juga terhadap pekerja kantoran.
Untuk pekerja kantoran, akan terancam oleh klaster ketenagakerjaan sebagaimana tertuang dalam BAB IV dari 11 klaster yang termaktub dalam Omnibus Law.
Dalam klaster ini, akan ada perubahan, penghapusan dan pengaturan baru atas beberapa ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Semua perubahan itu dilakukan demi “penguatan perlindungan kepada tenaga kerja dan meningkatkan peran tenaga kerja dalam mendukung ekosistem investasi.”
Baca Juga: Bakal Rampung Tahun Ini, Jokowi Siap Terapkan Omnibus Law di 2021
Ini Ancaman Omnibus Law Bagi Pekerja Kantoran
Adapun Omnibus Law RUU Cipta Kerja saat ini sedang dalam pembahasan DPR. Namun gelombang penolakan terus bermunculan dari berbagai kalangan masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Perkenomian Airlangga Hartarto menerangkan, RUU ini sudah mencapai 75 persen menuju finalisasi. Diperkirakan akan selesai tahun ini.
Menurut catatan Kompas.com, terdapat empat pasal yang mengancam pekerja kantoran apabila Omnibus Law RUU Ciptaker ini disahkan nantinya.
Pertama, RUU Cipta Kerja menghapus libur mingguan selama dua hari untuk lima hari kerja. Pada Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU itu disebutkan bahwa istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.
RUU ini juga menghapus pula cuti panjang dua bulan per enam tahun seperti termaktub dalam Pasal 79 ayat (5). Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Kedua, ada dua poin yang nantinya akan berimbas langsung terhadap sistem pengupahan pekerja perkantoran. Misalnya, Pasal 88 B RUU Cipta Kerja yang mengatur tentang standar pengupahan berdasarkan waktu.
Berdasarkan beleid tersebut, pengupahan diterapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil. Tak sedikit yang menganggap bahwa skema pengupahan ini akan menjadi dasar bagi perusahaan untuk memberlakukan perhitungan upah per jam.
Kemudian, pada Pasal 88 C, (1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.
Pada poin ini, banyak pihak khawatir, pemerintah tengah berupaya menghilangkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), termasuk upah minimum sektoral.
Baca Juga: Utamakan Pendidikan, Jokowi Siapkan Rp549T dari APBN 2021
Ketiga, RUU Cipta Kerja mengubah pula ketentuan jangka waktu untuk perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.
Hal itu termaktub dalam Pasal 56 Ayat (3), yang mengatur bahwa jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
RUU ini menghapuskan ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dengan kontrak kerja.
Ketentuan mengenai perjanjian kerja PKWT dapat berakhir saat pekerjaan selesai juga membuat pekerja rentan di-PHK karena pengusaha dapat menentukan sepihak pekerjaan berakhir.
Keempat, RUU Cipta Kerja juga mengubah ketentuan Pasal 61 yang salah satunya mengatur bahwa perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Beleid ini tidak dimuat dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya.
Dalam Pasal 61A dalam RUU Cipta Kerja, dikatakan bahwa pengusaha wajib memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir karena berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
Aturan tentang perjanjian kerja dalam RUU ini dinilai akan merugikan pekerja karena relasi kuasa yang timpang dalam pembuatan kesepakatan.
Pekerja pun terancam akan terikat dalam kontrak seumur hidup karena perjanjian kontrak berada di tangan pengusaha.
Sayangnya, pengusaha akan sewenang-wenang mem-PHK pekerja kontrak asalkan memberi kompensasi sesuai ketentuan tambahan dalam pasal 61A.
Baca Juga: Jokowi Kenakan Busana NTT di Sidang Tahunan MPR 2020
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan, jika RUU Cipta Kerja selesai dalam masa sidang paripurna tahun ini, maka sudah bisa diterapkan tahun depan.
Jokowi mengklaim bahwa Omnibus Law dapat meningkatkan investasi dan memulihkan ekonomi usai pandemi virus corona.
“Omnibus Law perpajakan dan pemberian berbagai insentif perpajakan yang tepat dan terukur diharapkan mampu mendorong peningkatan investasi dan daya saing nasional, mempercepat pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19, serta memacu transformasi ekonomi,” kata Jokowi dalam pembacaan Nota Keuangan 2021 di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (14/8) lalu.*